Part 6 :
Seperti biasa pagi itu Arta terlambat bangun. Tapi ini bukan karena menonton televisi sampai larut malam yang sering dilakukannya setiap hari melainkan tadi malam Arta sibuk memikirkan Reiko sampai larut malam. Sepertinya dirinya telah menyukai sosok Reiko itu. Dan dirinya sudah tidak sabar untuk menceritakan kejadian hari minggu kemarin pada Avin, sahabatnya. Arta memang suka sekali cerita banyak hal pada sahabatnya itu, karena Menurutnya Avin adalah satu-satunya sahabat yang bisa mengerti dirinya dan selalu bisa menjaga semua rahasianya. Namun hari itu dirinya tidak bisa menceritakan tentang apa yang dirinya alami hari minggu kemarin. Arta tahu bahwa tujuh hari kedepan, Avin masih berada diluar kota untuk menemani mamanya seperti yang dikatakan Avin dipesan singkat waktu itu. Jadi dirinya harus menunggu dengan sabar sampai Avin tiba kembali ke Jakarta.
‘Demi apapun, bunyi itu benar-benar membuat tidurku menjadi mimpi buruk’, teriak Arta yang langsung mematikan jam wekernya dengan keadaan yang masih setengah sadar, karena dirinya memang belum benar-benar bangun dari tidurnya.
Saat mendengar suara anaknya, mama Arta yang sedang menyiapkan sarapan dimeja makan langsung berlari kecil sambil menaiki tangga menuju kamar Arta. Setelah sampai didepan pintu kamar Arta, tanpa pikir panjang langsung dibukanya pintu kamar Arta sambil berkata dengan nada kesal, ‘Astaga Arta, yang benar saja sudah jam segini kau belum bangun dari tidurmu, apakah kau tidak bosan terlambat dan dimarahi oleh guru?.”
Mata Arta terbelalak setelah mendengar celotehan mamanya. Dan langsung terperanjat dari tempat tidurnya. ‘Mama ini kenapa tidak membangunkanku pagi-pagi tadi, sehingga aku tidak perlu terlambat seperti ini’, ucap Arta sambil mendengus kesal.
Untung saja sesampai disekolah, Pak satpam penjaga dengan mudahnya mau membukakan pintu gerbang untuk Arta yang sedang terlambat saat itu. Arta pun langsung berlari masuk kedalam sekolah sambil mengucap terima kasih dan mengacungkan ibu jari tangan kanannya pada pak satpam tersebut.
‘Sepertinya ini memang bukan hari keberuntunganku’, gumam Arta ketika melihat ibu guru kimia yang sedang menasehati beberapa murid yang datang terlambat seperti dirinya. Kemudian Arta pun berpikir sejenak untuk memikirkan bagaimana caranya agar dirinya bisa terbebas dari gurunya itu. Tiba-tiba akal aneh itu datang, Arta bermaksud melarikan diri dari tempat itu lalu dia masuk lewat belakang kantin sekolah agar tidak ketahuan oleh gurunya itu. Namun saat Arta mau membalikkan badannya, Bu Nara melihat Arta dan langsung memanggilnya. Sambil mendengus pasrah, Arta pun lekas menuju kearah gurunya.
Arta pun menunduk sambil mendengar celotehan gurunya dengan lesu. Sampai tiba-tiba datang suara tepat disebelahnya, ‘Maaf Bu, saya datang terlambat’, kata orang itu.
Arta langsung mengenali suara itu, kemudian dirinya menoleh kearah suara itu. ‘kak Reiko!’, sambutnya cepat. Lalu Reiko membalas dengan senyuman kecil.
Arta masih tidak bisa mengalihkan pikirannya tentang kak Reiko walaupun sekarang dia sedang mengikuti pelajaraan didalam kelas. ‘Apakah ada perasaanku yang begitu lain terhadap kak Reiko?’, batin Arta.
Bel istirahat pun berbunyi. Arta memang sudah tidak sabar dari tadi menunggu bel istirahat berbunyi, perutnya memang sudah sangat lapar sekali karena tadi pagi dirinya tidak sarapan gara-gara bangun kesiangan.
Roti bakar yang dipesannya tadi sudah datang dan siap dilahapnya dengan susu cokelat kegemarannya. Karena asik menikmati makanan dan minumannya, Arta tidak sadar bahwa Reiko sejak tadi telah duduk disampingnya. Sampai beberapa lama Arta baru menyadarinya sendiri. ‘kak Reiko sudah berapa lama berada disini?’, tanya Arta kikuk.
‘Hemm, sepertinya sudah lama saat lahapan roti bakar pertamamu’, jawab Reiko sambil tetap membaca buku yang dipegangnya.
‘Oh, maaf ya kak kalau begitu. Aku benar-benar tidak tau tadi’, gumam Arta malu. ‘Hmm kenapa kakak tidak melanjutkan sekolah di Jerman?’, tanya Arta hati-hati.
Reiko pun menutup buku yang dibacanya serta melepas earphone dari kedua telinganya dan menoleh kearah Arta lalu menceritakan beberapa hal, ‘Sebenarnya aku disuruh Vatti (*panggilan untuk ayah dalam bahasa jerman) untuk tetap tinggal disana, tapi aku lebih senang tinggal di Jakarta bersama nenek. Lagipula ada beberapa teman karibku yang tinggal disini, seperti Christian dan Igo’.
Arta pun kaget mendengar nama Igo disebut oleh Reiko. Pikirannnya pun melayang pada kakaknya. Namun Arta masih belum mau menanyakan pada Reiko, apakah nama Igo itu adalah kakaknya. Arta masih ingin mendengar cerita Reiko sambil berusaha memastikannya.
‘Kami bertiga sering bermain bola basket didepan rumah igo pada saat kami berumur kurang lebih delapan tahun, tapi sekarang kami sudah jarang bertemu, karena mungkin mereka sedang sibuk dengan urusannya masing-masing’, sambung Reiko.
Arta pun mencoba memberanikan diri bertanya, ‘Ehh, apakah yang kakak maksud nama itu Igo Nanda Putra?’.
Reiko mengerutkan kening dan menjawab, ‘Ya benar!, bagaimana kau bisa tahu?’.
Dengan sekuat tenaga Arta mengela napas, ‘Dia itu kakakku!’.
Pantas saja saat Arta pertama kali melihat Reiko pada pagi itu. Dirinya telah merasa pernah mengenal Reiko sebelumnya.
To be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar